Namanya tidak asing dalam dunia sufi. Dialah sufi pertama yang mengarang kitab tentang sufisme dalam Bahasa Persia.
Bagi para penganut sufi, pengamat, dan para intelektual, kitab
Kasyful Mahjub, sudah tidak asing lagi. Kitab itu disejajarkan dengan
kitab-kitab besar kaum sufi lainnya. Seperti Kitab Al-Risalah karya
Al-Qusyairi dan Tadzkirul Awliya, karya Fariduddin Aththar. Bahkan kitab
Kasyful Mahjub tercatat sebagai kitab sufi yang pertama kali di tulis
dalam bahasa Persia. Kitab tersebut berisi berbagai pandangan tentang
mistik Islam dan riwayat hidup singkat para sufi, dan telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia.
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Usman bin al-Ghaznawi al-Jullabi al-Hujwiri.
Ulama ini lahir di Ghaznah, Persia (Iran), pada abad ke 5 H / 11 M. di
zaman sekarang, Ghaznah termasuk wilayah Afganistan. Pengarang Tadzkirul Awliya, Fariduddin Aththar, diduga banyak mengutip beberapa riwayat hidup para sufi dari kitab Kasyful Mahjub. Misalnya dalam bab II yang menyebut nama Al-Hujwiri. Tapi menurut pengamat dunia sufi, AJ. Arberry, banyak bagian kitab Tadzkirul Awliya merupakan kutipan dari kitab Kasyful Mahjub
tanpa menyebutkan sumber. Meski begitu, sufi Persia, Nawab Jan Fishari
Khan, menyebut al-Hujwiri sebagai “Juru Penerang” dalam salah satu
puisinya.
Sementara menurut pengamat sufi yang lain, Annemarie Schimmel, Kasyful Mahjub
termasuk satu di antara beberapa kitab yang sahih dan terkenal,
sebagai monumen Persia awal, dengan daya ungkap yang kuat. Schimmel
justru mencatat sejumlah besar keterangan mengenai dunia sufi yang menarik dalam kitab ini.
Tidak Banyak yang Menulis
Seperti
halnya banyak sufi besar, riwayat Al-Hujwiri tidak ada yang menulis.
Kalaupun sekarang bisa dijumpai sekelumit biografinya hal itu tidak
lebih berkat adanya beberapa catatan tentang sang pengarang dalam kitab Kasyful Mahjub.
Dari sana pula diketahui bahwa Al-Hujwiri pernah berguru kepada Abul
Abbas Al-Syaqani, kemudian Abu Fadhl Muhammad bin Hasan Al-Khuttali dan
Abu Al-Qasim Al-Jurjani (W. 1059) serta Khwaja Al-Muzaffar Ahmad bin
Hamdan. Terungkap pula ia pernah berjumpa dengan Imam Al-Qusyairi.
Masa kecil dan remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu, terutama di
kota kelahirannya, Ghaznah. Untuk menuntut ilmu, ia melanjutkan
perjalanannya ke berbagai kota, di Irak, Khurasan di Timur Tengah,
Kurdistan dan Azarbaijan, Jurjan, Samarkand, Uskand, Marwi di Asia
Tengah, hingga Lahore di India. Pengembaraannya berakhir setelah
berkunjung untuk kedua kalinya ke Lahore, dan menetap selama kurang
lebih empat tahun.
Ketika itulah ia merasa bertanggung jawab atas penegakan Syariat
Islam dan meningkatkan pengetahuan kaum muslimin. Maka ia pun mengajar
dan berdakwah, hingga dikenal sebagai seorang ulama yang berpengaruh. Ia
termasuk sedikit dari para ulama yang pertama kali merintis dakwah
Islam di India, khususnya di Lahore dan sekitarnya.
Ketika pasukan Hindu menyerang Lahore pada tahun 435 H, Al-Hujwiri
termasuk di antara ribuan orang muslim yang ditawan. Tak lama kemudian
pasukan muslim dari Ghaznah membebaskan para tawanan, dan Al-Hujwiri pun
pindah ke Ghaznah lalu ke Khurasan. Tapi tak lama kemudian ia kembali
lagi ke Lahore hingga wafat pada 1073 M / 465 H.
Wawasan yang Sangat Luas
Mengembara
menuntut ilmu, dan bertemu dengan berbagai ulama dan intelektual,
memberikan wawasan tersendiri dalam pemikiran Al-Hujwiri. Apalagi ia
juga sangat rajin membaca berbagai literatur selama dalam pengembaraan,
hingga wawasan pemikirannya sangat luas. Tidak keliru jika para ahli
menyebut Al-Hujwiri sebagai salah seorang ulama besar dalam dunia
tasawuf.
Ia juga dikenal sebagai seorang penulis yang tergolong produktif. Dalam bukunya Kasyful Mahjub, disebutkan beberapa karyanya yang berjumlah sepuluh buah, antara lain: Diwan Minhaj Al-Din
(kajian aturan agama), karya ini menyajikan keterangan metode tasawuf,
keterangan terperinci tentang para pengamal tarekat, serta biografi
lengkapa Al-Hallaj.
Kemudian Asrar Al-Khiraq al-Mulawwanat (rahasia baju compang-camping) yang memuat pembahasan pakaian para sufi. Fana-U Baqa (kehancuran yang kekal), kitab Al-Bayan li Ahl al-Iyan (kitab penjelasan untuk ahli hakekat) yang berisi konsep penyatuan dengan Tuhan, Bahr al-Qulub (samudra hati), berisi kajian tentang masalah hati yang sangat lengkap, Al-Riayat al-Huquq Allah (menjaga hak-hak Allah) berisi tentang keesaan Allah SWT dan karya yang sangat populer, Al-Kasyful Mahjub (ungkapan yang tersembunyi)
Adapun dua buku yang isinya tentang keimanan dan ungkapan-ungkapan
Al-Hallaj tidak di ketahui judulnya, bahkan mungkin belum sempat
diberinya judul. Sebagian karangan Al-Hujwiri telah hilang pada masa
hidup sang pengarang , selain Kasyful Mahjub, yang terjaga rapi di tangan murid-muridnya.
Menurut cerita murid-muridnya, pernah Al-Hujwiri menyesal meminjamkan
dua buku karyanya kepada seseorang yang kemudian tidak
mengembalikannya. Tetapi kedua karya tersebut kemudian muncul dan
disebarkan kepada khalayak dengan nama pengarang yang telah diganti,
yaitu nama si peminjam buku tersebut. Barangkali dari pengalaman itu
Al-Hujwiri lantas berusaha menyelipkan namanya pada sejumlah bagian
dalam karya-karyanya, yang bisa dilihat dalam kitab Kasyful Mahjub.
Kitab Kasyful Mahjub, di mata para pengamat mempunyai
beberpa kelabihan. Diantaranya menguraikan dengan tajam dua belas aliran
tasawuf yang berkembang pada saat itu. Mengungkapkan beberapa persoalan
tasawuf yang sangat berat seperti Makrifat dan sebagainya. Tidak
ketinggalan uraian yang sangat mendalam tentang beberapa aliran tasawuf
sehingga mempermudah kita untuk mempelajarinya.
Ada beberpa pandangan tentang tasawuf. Dalam buku Kisah Perjalanan Hidup Para Tokoh Sufi karangan Ustad Labib Mz. Ditulis beberapa buah pemikirannya sebagai berikut:
- Pertama, Ilmu-ilmu Tauhid, fikih, tasawuf, serta pengalaman spritual dalam satu kesatuan yang utuh, konsekwen dan sesuai dengan aturan syariat, adalah ajaran Islam yang benar.
- Kedua, bagaimana pun tingginya seorang tokoh sufi, tetap saja mempunyai kewajiban agama seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat sesuai dengan aturan Al-Qur’an dan hadis. Ketiga, mazhab-mazhab tidak hanya ada dalam ilmu fikih, tetapi juga ada dalam ilmu tasawuf.
Sebagai salah seorang pengikut Ahlussunnah, Al-Hujwiri dikenal sebagai ulama yang berusaha mendamaikan Tasawuf , fikih dan teologi.
Ia berulang kali mengingatkan. Tidak ada sufi, termasuk yang telah
mencapai tingkat tinggi, bebas dari kewajiban syariat, atau mentaati
hukum-hukum agama.
Ia menegaskan, ada keterkaitan erat antara syariat dan hakekat. Menurutnya syariat tanpa hakekat tidak membuahkan apa-apa. Sedangkan hakekat tanpa syariat, hanya membuahkan kemunafikan.. sebuah upaya dan semangat yang kemudian di teruskan oleh Imam Ghazali.
Al-Hujwiri membagi orang-orang tasawuf menjadi tiga golongan. Yaitu, Sufi, Mutasawwif, dan Mutashwif. Sufi
adalah orang yang sudah fana (lenyap) dari dirinya, Baqa (abadi)
bersama Al-Haq, bebas dari genggaman tabiat dan mencapai hakekat dari
segala hakekat. Mutashawwif, adalah orang yang sedang berjuang keras
untuk mencapai derajat sufi. Adapun Mutashwif adalah orang yang
berpura-pura seperti sufi tetapi dengan kepentingan duniawi.
Sumber Kisah Alkisah Nomor 04 / 14-27 Feb 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar