Kamis, 27 Februari 2020

Al-Hujwiri, Kisah Penyingkap Pintu Makrifat

Namanya tidak asing dalam dunia sufi. Dialah sufi pertama yang mengarang kitab tentang sufisme dalam Bahasa Persia.
Bagi para penganut sufi, pengamat, dan para intelektual, kitab Kasyful Mahjub, sudah tidak asing lagi. Kitab itu disejajarkan dengan kitab-kitab besar kaum sufi lainnya. Seperti Kitab Al-Risalah karya Al-Qusyairi dan Tadzkirul Awliya, karya Fariduddin Aththar. Bahkan kitab Kasyful Mahjub tercatat sebagai kitab sufi yang pertama kali di tulis dalam bahasa Persia. Kitab tersebut berisi berbagai pandangan tentang mistik Islam dan riwayat hidup singkat para sufi, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia.

Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Usman bin al-Ghaznawi al-Jullabi al-Hujwiri. Ulama ini lahir di Ghaznah, Persia (Iran), pada abad ke 5 H / 11 M. di zaman sekarang, Ghaznah termasuk wilayah Afganistan. Pengarang Tadzkirul Awliya, Fariduddin Aththar, diduga banyak mengutip beberapa riwayat hidup para sufi dari kitab Kasyful Mahjub. Misalnya dalam bab II yang menyebut nama Al-Hujwiri. Tapi menurut pengamat dunia sufi, AJ. Arberry, banyak bagian kitab Tadzkirul Awliya merupakan kutipan dari kitab Kasyful Mahjub tanpa menyebutkan sumber. Meski begitu, sufi Persia, Nawab Jan Fishari Khan, menyebut al-Hujwiri sebagai “Juru Penerang” dalam salah satu puisinya.
Sementara menurut pengamat sufi yang lain, Annemarie Schimmel, Kasyful Mahjub termasuk satu di antara beberapa kitab yang sahih  dan terkenal, sebagai monumen Persia awal, dengan daya ungkap yang kuat. Schimmel justru mencatat sejumlah besar keterangan mengenai dunia sufi yang menarik dalam kitab ini.

Tidak Banyak yang Menulis


kashfulmahjubSeperti halnya banyak sufi besar, riwayat Al-Hujwiri tidak ada yang menulis. Kalaupun sekarang bisa dijumpai sekelumit biografinya hal itu tidak lebih berkat adanya beberapa catatan tentang sang pengarang dalam kitab Kasyful Mahjub. Dari sana pula diketahui bahwa Al-Hujwiri pernah berguru kepada Abul Abbas Al-Syaqani, kemudian Abu Fadhl Muhammad bin Hasan Al-Khuttali dan Abu Al-Qasim Al-Jurjani (W. 1059) serta Khwaja Al-Muzaffar Ahmad bin Hamdan. Terungkap pula ia pernah berjumpa dengan Imam Al-Qusyairi.
Masa kecil dan remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu, terutama di kota kelahirannya, Ghaznah. Untuk menuntut ilmu, ia melanjutkan perjalanannya ke berbagai kota, di Irak, Khurasan di Timur Tengah, Kurdistan dan Azarbaijan, Jurjan, Samarkand, Uskand, Marwi di Asia Tengah, hingga Lahore di India. Pengembaraannya berakhir setelah berkunjung untuk kedua kalinya ke Lahore, dan menetap selama kurang lebih empat tahun.

Ketika itulah ia merasa bertanggung jawab atas penegakan Syariat Islam dan meningkatkan pengetahuan kaum muslimin. Maka ia pun mengajar dan berdakwah, hingga dikenal sebagai seorang ulama yang berpengaruh. Ia termasuk sedikit dari para ulama yang pertama kali merintis dakwah Islam di India, khususnya di Lahore dan sekitarnya.
Ketika pasukan Hindu menyerang Lahore pada tahun 435 H, Al-Hujwiri termasuk di antara ribuan orang muslim yang ditawan. Tak lama kemudian pasukan muslim dari Ghaznah membebaskan para tawanan, dan Al-Hujwiri pun pindah ke Ghaznah lalu ke Khurasan. Tapi tak lama kemudian ia kembali lagi ke Lahore hingga wafat pada 1073 M / 465 H.

Wawasan yang Sangat Luas

Mengembara menuntut ilmu, dan bertemu dengan berbagai ulama dan intelektual, memberikan wawasan tersendiri dalam pemikiran Al-Hujwiri. Apalagi ia juga sangat rajin membaca berbagai literatur selama dalam pengembaraan, hingga wawasan pemikirannya sangat luas. Tidak keliru jika para ahli menyebut Al-Hujwiri sebagai salah seorang ulama besar dalam dunia tasawuf.
Ia juga dikenal sebagai seorang penulis yang tergolong produktif. Dalam bukunya Kasyful Mahjub, disebutkan beberapa karyanya yang berjumlah sepuluh buah, antara lain: Diwan Minhaj Al-Din (kajian aturan agama), karya ini menyajikan keterangan metode tasawuf, keterangan terperinci tentang para pengamal tarekat, serta biografi lengkapa Al-Hallaj.
Kemudian Asrar Al-Khiraq al-Mulawwanat (rahasia baju compang-camping) yang memuat pembahasan pakaian para sufi. Fana-U Baqa (kehancuran yang kekal), kitab Al-Bayan li Ahl al-Iyan (kitab penjelasan untuk ahli hakekat) yang berisi konsep penyatuan dengan Tuhan, Bahr al-Qulub (samudra hati), berisi kajian tentang masalah hati yang sangat lengkap, Al-Riayat al-Huquq Allah (menjaga hak-hak Allah) berisi tentang keesaan Allah SWT dan karya yang sangat populer, Al-Kasyful Mahjub (ungkapan yang tersembunyi)
Adapun dua buku yang isinya tentang keimanan dan ungkapan-ungkapan Al-Hallaj tidak di ketahui judulnya, bahkan mungkin belum sempat diberinya judul. Sebagian karangan Al-Hujwiri telah hilang pada masa hidup sang pengarang , selain Kasyful Mahjub, yang terjaga rapi di tangan murid-muridnya.
Menurut cerita murid-muridnya, pernah Al-Hujwiri menyesal meminjamkan dua buku karyanya kepada seseorang yang kemudian tidak mengembalikannya. Tetapi kedua karya tersebut kemudian muncul dan disebarkan kepada khalayak dengan nama pengarang yang telah diganti, yaitu nama si peminjam buku tersebut. Barangkali dari pengalaman itu Al-Hujwiri lantas berusaha menyelipkan namanya pada sejumlah bagian dalam karya-karyanya, yang bisa dilihat dalam kitab Kasyful Mahjub.
Kitab Kasyful Mahjub, di mata para pengamat mempunyai beberpa kelabihan. Diantaranya menguraikan dengan tajam dua belas aliran tasawuf yang berkembang pada saat itu. Mengungkapkan beberapa persoalan tasawuf yang sangat berat seperti Makrifat dan sebagainya. Tidak ketinggalan uraian yang sangat mendalam tentang beberapa aliran tasawuf sehingga mempermudah kita untuk mempelajarinya.
Ada beberpa pandangan tentang tasawuf. Dalam buku Kisah Perjalanan Hidup Para Tokoh Sufi karangan Ustad Labib Mz. Ditulis beberapa buah pemikirannya sebagai berikut:
  • Pertama, Ilmu-ilmu Tauhid, fikih, tasawuf, serta pengalaman spritual dalam satu kesatuan yang utuh, konsekwen dan sesuai dengan aturan syariat, adalah ajaran Islam yang benar.
  • Kedua, bagaimana pun tingginya seorang tokoh sufi, tetap saja mempunyai kewajiban agama seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat sesuai dengan aturan Al-Qur’an dan hadis. Ketiga, mazhab-mazhab tidak hanya ada dalam ilmu fikih, tetapi juga ada dalam ilmu tasawuf.
Sebagai salah seorang pengikut Ahlussunnah, Al-Hujwiri dikenal sebagai ulama yang berusaha mendamaikan Tasawuf , fikih dan teologi. Ia berulang kali mengingatkan. Tidak ada sufi, termasuk yang telah mencapai tingkat tinggi, bebas dari kewajiban syariat, atau mentaati hukum-hukum agama.
Ia menegaskan, ada keterkaitan erat antara syariat dan hakekat. Menurutnya syariat tanpa hakekat tidak membuahkan apa-apa. Sedangkan hakekat tanpa syariat, hanya membuahkan kemunafikan.. sebuah upaya dan semangat yang kemudian di teruskan oleh Imam Ghazali.
Al-Hujwiri membagi orang-orang tasawuf menjadi tiga golongan. Yaitu, Sufi, Mutasawwif, dan Mutashwif. Sufi adalah orang yang sudah fana (lenyap) dari dirinya, Baqa (abadi) bersama Al-Haq, bebas dari genggaman tabiat dan mencapai hakekat dari segala hakekat. Mutashawwif, adalah orang yang sedang berjuang keras untuk mencapai derajat sufi. Adapun Mutashwif adalah orang yang berpura-pura seperti sufi tetapi dengan kepentingan duniawi.
Sumber Kisah Alkisah Nomor 04 / 14-27 Feb 2005

Tidak ada komentar: