Kisah-kisah
perjalanan tauhid dan ruhani begitu abadi dalam Al-Qur’an, yang
dipresentasikan melalui kisah-kisah agung para Nabiyullah as. Kisah
teologis, sekaligus kisah esoterik ruhani, yang dialami oleh manusia
sepanjang masa, tak habis-habisnya menjenguk ayat-ayat yang diungkapkan
dalam kisah Nabi Ibrahim as berikut ini.
Nabi
Ibrahim as, mendapat gelar sebagai Bapak Tauhid, karena drama
kehidupannya yang luar biasa, baik secara sosial, ekonomi, politik,
agama, maupun budaya. Dari nasab atau kerurunan Nabi Ibrahim as,
lahirlah para Nabi-nabi dan para Rasul yang mulia, antara lain karena
barokah doa beliau, agar keluarganya menjadi pemimpin yang bertaqwa dan
menjadi generasi yang menyejukkan matahati.
Generasi tauhid yang
tampil begitu indah di hadapan peradaban bumi, diantaranya menjadi
manusia-manusia pilihan Allah Ta’ala, dari para Nabi, para wali, para
sufi dan para Ulama Allah Swt, dan orang-orang saleh. Keluarga manusia
penuh cahaya.
Dalam sebuah kisah Al-Qur’an perjalanan spiritual Nabi Ibrahim as, digambarkan dengan ayat:
“Dan
begitu juga Kami tampakkan pada Ibrahim, kerajaan langit dan bumi, agar
dia benar-benar masuk golongan orang-orang yang yaqin.” (Al-An’am 75).
Nabi
Ibrahims as, secara sufistik di-mukasyafah-kan rahasia alam Malakut dan
Nasut, agar memasuki Alam Jabarut yang dihuni kaum yang maqomnya total
Haqqul Yaqin.
Dimulailah pengembaraan ruhani tetang hakikat diri,
hakikat alam demi alam ciptaanNya, dan Siapa sebenarnya Dia Al-Haq Azza
wa-Jalla Swt. Inilah proses suluk (penempuhan Jalan Ruhani) yang dahsyat
dalam rangka meraih Ma’rifatullah.
Maka: “Ketika malam telah
gelap, ia melihat bintang-bintang. Ia berkata, “Inilah Tuhanku.”Namun
ketika (bintang-bintang) itu sirna, Ibrahim berkata, “Aku tidak suka
hal-hal yang sirna.” (Al-An’aam, 76).
Ketika
perjalanan awal ia melihat dirinya sebagai pantulan makrokosmos, yang
tampak adalah kegelapan. Lalu ia melihat “bintang-bintang ilmu
pengetahuan” yang begitu indah dan memuncak dibalik tafakkurnya,
sampai-sampai ia merasa telah final ma’rifatnya. Dan ia menyangka,
“Inilah Tuhanku….!” Ia merasa berjumpa dengan Tuhan, padahal tak lebih
dari bayangan-bayangan dari lapisan CahayaNya saja, yang menjadi hijab
Cahaya bagiNya, satu lapis hijab Cahaya, serasa sudah bertemu Tuhannya,
ma’rifat padaNya, musyahadah padaNya.
Tiba-tiba cahaya itu tak lebih dari pantulan kegelapan makhluk pula, dan “Aku tidak suka dengan hal yang sirna.”
Inilah
yang digambarkan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam Al-Hikam, “Tak
ada hasrat para penempuh (salik) ketika berhenti saat di-mukasyafah-kan
(dibukakan rahasiaNya) melainkan akan muncul panggilan lembut dari inti
hakikat, ‘Yang kau cari itu masih ada di depanmu. Dan fenomena alam
semesta fisik tidak akan tampak, kecuali hakikat-hakikatnya bicara.’
Sesungguhnya kami adalah cobaan, maka janganlah kufur.”
Yang kau
cari bukan yang tampak nyata, maupun cahaya yang tersembunyi dibaliknya.
Karena yang kau cari itu tak lebih dari cobaan dan ujian dari Allah
Swt. Bintang-bintang pengetahuan yang dalam, bukanlah akhir dari tujuan
ma’rifah, tetapi tak lebih dari instrument-instrumen yang dibutuhkan
untuk menuju Sang Empunya dan Pencipta bintang-bintang pengetahuan.
Banyak
manusia yang diperbudak oleh ilmu pengetahuan, sains dan teknologi,
hanya karena menganggap ilmu pengetahuan itu sebagai akhir tujuan.
Apalagi jika dalam kisah Ibrahim as, bintang yang tampak secara materi,
jika tidak terselematkan melalui hidayahNya, manusia bisa menyembah
bintang dan, menyembah ilmu pengetahuan.
Begitu pun para penempuh
Thariqah Sufi, disaat Allah Swt membukakan rahasia ilmu pengetahuan,
banyak mereka yang terhenti, seakan-akan ia telah menggapai puncak
spiritual dengan pengetahuannya, lalu berakhir dengan ketakjuban dan
kesombongan intelektual.
Maka, ketika cahaya lebih besar tampak,
yang digambarkan dengan memandang bulan, Nabi Ibrahim as, sempat
mengklaim, “Inilah Tuhanku!” Seperti dalam ayat: “Kemudian tatkala ia
melihat bulan terbit, ia berkata “Inilah Tuhanku, tetapi setelah bulan
itu terbenam, ia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
hidayah kepadaku, pastilah aku tergolong orang-orang yang sesat.”
(Al-An’aam, 77).
Disaat para
penempuh sedang dibukakan Cahaya yang lebih besar, maka
limpahan-limpahan Cahaya Ilahi mulai memancar, dan itulah Cahaya
Rembulan Musyahadah, yang tampak mempesona penuh keindahan luar biasa
dibalik Rahasia Ilahi. Keindahan yang membuat para penempuh jadi
tercengang, dan spontan mengatakan, “Aku sudah sampai padaNya…Aku sudah
ma’rifat dan inilah yang aku cari selama ini…”Ia rupanya fana’, tetapi
baru fana’ pada Sifat-sifat yang memancarkan limpahan Cahaya di balik
“bukan Musyahadah”.
Cahaya rembulan Qalbu, yang jadi
pantulan dari Matahari Ma’rifat, terurai dalam bintang-bintang ilmu
pengetahuan, belumlah usai perjalanan sang penempuh.
Perjalanan
itu ternyata berakhir ketika Rembulan Qalbu harus tenggelam dalam
Matahari Ruh dan Rahasia Ruh, dan Nabi Ibrahim as, sangat menyadari
bahwa perjalanan ruhani itu sungguh butuh bimbingan hidayahNya. Karena
ia gagal memandang makhlukNya dengan dirinya sendiri, namun ia harus
memandangnya bersama PandanganNya. Ia harus memandang semua ini bersama
Allah Rabbul ‘Izzah.
Lalu terbitlah pancaran cahaya yang
luarbiasa, yang muncul dari matahari Ma’rifat. Maka: “Kemudian ketika ia
melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku! Ini lebih
besar”. Maka ketika tenggelam ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung pada agamaNya yang benar. Dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Al-An’aam: 78-79).
Pancaran
cahaya ma’rifat yang lebih besar, dari ruh yang dahsyat, sampai sang
penempuh pun (sebagaimana Nabi Ibrahim as) merasa telah bertemu Tuhan.
Inilah
yang dikhawatirkan para Sufi, jika para penempuh tidak dibimbing
Mursyid, maka ketersingkapan ruhani bisa membuat ia terjebak dalam
tipudaya, dan berakhir sebagai Istidroj, bukan sebagai anugerah.
Istidroj
yang menimpa orang-orang ‘arifin (yang ma’rifat) adalah ketika ia
terpesona oleh cahaya kema’rifatannya, dan lupa kepada Yang Dima’rifati
(Allah Swt.). Karena itu Nabiyullah Ibrahim as, segera kembali kepada
Sang Pencipta Matahari, Bulan dan Bintang, Sang Pencipta Langit dan Bumi
serta seisinya. Karena Dialah yang sesungguhnya dituju. Itulah yang
disebut Ma’rifat Dzat, yang berarti juga Fana’ fidz-Dzat hingga sampai
Al-Baqa’ yang tiada hingga.