Kamis, 05 Mei 2016

Orang yang Berjalan di Atas Air

Seorang darwis yang berpegang kepada kaidah, yang berasal dari mazhab yang saleh, pada suatu hari berjalan menyusur tepi sungai. Ia memusatkan perhatian pada berbagai masalah moral dan ajaran, sebab itulah yang menjadi pokok perhatian pengajaran Sufi dalam mazhabnya. Ia menyamakan agama, perasaan, dengan pencarian kebenaran mutlak. Tiba-tiba renungannya terganggu oleh teriakan keras: Seseorang terdengar mengulang-ulang suatu ungkapan darwis. Tak ada gunanya itu, katanya kepada diri sendiri. Sebab orang itu telah salah mengucapkannya. Seharusnya diucapkannya yâ hû, tapi ia mengucapkannya u yâ hû. Kemudian ia menyadari bahwa sebagai darwis yang lebih teliti, ia mempunyai kewajiban untuk meluruskan ucapan orang itu. Mungkin orang itu tidak pernah mempunyai kesempatan mendapat bimbingan yang baik, dan karenanya telah berbuat sebaik-baiknya untuk menyesuaikan diri dengan gagasan yang ada di balik suara yang diucapkannya itu.
Demikianlah darwis yang pertama itu menyewa perahu dan pergi ke pulau di tengah-tengah arus sungai, tempat asal suara yang didengarnya tadi. Didapatinya orang itu duduk di sebuah gubuk alang-alang, bergerak-gerak sangat sukar teratur mengikuti ungkapan yang diucapkannya itu. Sahabat, kata darwis pertama, Anda keliru mengucapkan ungkapan itu. Saya berkewajiban memberitahukan hal ini kepada Anda, sebab ada pahala bagi orang yang memberi dan menerima nasihat. Inilah ucapan yang benar. Lalu ia memberitahukannya ucapan itu. Terimakasih, kata darwis yang lain itu dengan rendah hati.
Darwis pertama turun ke perahunya lagi, sangat puas, sebab baru saja berbuat amal. Bagaimana pun kalau orang boleh mengulang-ulang ungkapan rahasia itu dengan benar, ada kemungkinan boleh berjalan di atas air. Hal itu memang belum pernah disaksikannya sendiri, tetapi berdasarkan alasan tertentu- darwis pertama itu ingin sekali boleh melakukannya. Kini ia tak mendengar lagi suara gubuk alang-alang itu, tapi ia yakin bahwa nasihatnya telah dilaksanakan sebaik-baiknya.
Kemudian didengarnya lagi ucapan u yâ hû yang keliru itu ketika darwis yang di pulau tersebut mulai mengulang-ulang ucapannya…. Ketika darwis pertama merenungkan hal itu, memikirkan betapa manusia memang suka bersikeras mempertahankan kekeliruan, tiba-tiba disaksikannya pemandangan yang menakjubkan. Dari arah pulau itu, darwis kedua tadi tampak menuju perahunya, berjalan di atas air….
Karena takjubnya, ia pun berhenti mendayung. Darwis kedua pun mendekatinya, katanya, Saudara, maaf saya mengganggu Anda. Saya datang untuk menanyakan cara yang benar untuk mengucapkan ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi; sulit benar rasanya mengingat-ingatnya

Keperluan yang Makin Mendesak

Pada suatu malam, seorang penguasa tiran di Turkistan sedang mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh seorang darwis. Tiba-tiba bertanya tentang Nabi Khidir. Khidir, kata darwis itu, datang kalau diperlukan. Tangkap dan jubahkan ia kalau ia muncul, dan segala pengetahuan menjadi milik paduka. Apakah itu boleh terjadi pada siapa pun? Siapa pun boleh, kata darwis itu. Siapa pula lebih boleh dariku? fikir sang Raja; dan ia pun mengedarkan pengumuman: Barangsiapa boleh menghadirkan Khidir yang gaib, akan kujadikan orang kaya.
Seorang lelaki miskin dan buta bernama Bakhtiar Baba, setelah mendengar pengumuman itu menyusun akal. Ia berkata kepada istrinya, Aku punya rencana. Kita akan segera kaya, tetapi beberapa lama kemudian aku harus mati. Namun, hal itu tidak mengapa, sebab kekayaan kita itu boleh menghidupimu selamanya. Kemudian Bakhtiar menghadap Raja dan mengatakan bahwa ia akan mencari Khidir dalam waktu empat puluh hari, kalau Raja bersedia memberinya seribu keping emas. Kalau kau boleh menemukan Khidir, kata Raja, kau akan mendapat sepuluh kali seribu keping wang emas ini. Kalau gagal, kau akan mati, dipancung di tempat ini sebagai peringatan kepada siapa pun yang akan mencoba mempermainkan rajanya. Bakhtiar menerima syarat itu. Ia pun pulang dan memberikan wang itu kepada istrinya, sebagi jaminan hari tuanya. Sisa hidupnya yang tinggal empat puluh hari itu dipergunakannya untuk merenung, mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain.
Pada hari keempat puluh ia menghadap Raja. Yang Mulia, katanya, kerakusanmu telah menyebabkan kau berfikir bahwa wang akan boleh mendatangkan Khidir. Tetapi Khidir, kata orang, tidak akan muncul oleh panggilan yang berdasarkan kerakusan. Sang Raja sangat marah, Orang celaka, kau telah mengorbankan nyawamu; siapa pula kau ini berani mencampuri keinginan seorang raja? Bakhtiar berkata, Menurut dongeng, semua orang boleh bertemu Khidir, tetapi pertemuan itu hanya akan ada manfaatnya apabila maksud orang itu benar. Mereka bilang, Khidir akan menemui orang selama ia boleh memanfaatkan saat kunjungannya itu. Itulah hal yang kita tidak menguasainya.
Cukup ocehan itu, kata sang Raja, sebab tak akan memperpanjang hidupmu. Hanya tinggal meminta para menteri yang berkumpul di sini agar memberikan nasihatnya tentang cara yang terbaik untuk menghukummu. Ia menoleh ke Menteri Pertama dan bertanya, Bagaimana cara orang itu mati? Menteri Pertama menjawab, Panggang dia hidup-hidup sebagai peringatan. Menteri Kedua, yang berbicara sesuai urutannya, berkata, Potong-potong tubuhnya, pisah-pisahkan anggota badannya. Menteri Ketiga berkata, Sediakan kebutuhan hidup orang itu agar ia tidak lagi mau menipu demi kelangsungan hidup keluarganya.
Sementara pembicaraan itu berlangsung, seseorang yang bijaksana yang sudah sangat tua memasuki rwang pertemuan. Ia berkata, Setiap orang mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka yang tersembunyi di dalam dirinya. Apa maksudmu, tanya Raja. Maksudku, Menteri Pertama itu aslinya Tukang Roti, jadi ia berbicara tentang panggang memanggang. Menteri Kedua, dulunya Tukang Daging, jadi ia berbicara tentang potong memotong daging. Menteri Ketiga, yang telah mempelajari ilmu kenegaraan, melihat sumber masalah yang kita bicarakan ini. Catat dua hal ini, pertama, Khidir muncul melayani setiap orang sesuai kemampuan orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya. Kedua, Bakhtiar, orang ini yang kuberi nama Baba (Bapak dalam bahasa Parsi, -red.) karena pengorbanannya- telah didesak oleh keputusasaannya untuk melakukan tindakan tersebut. Keperluannya semakin mendesak sehingga aku pun muncul di depanmu.
Ketika orang-orang itu memperhatikannya, orang tua yang bijaksana itu pun lenyap begitu saja. Sesuai yang diperintahkan Khidir. Raja memberikan belanja teratur kepada Bakhtiar. Menteri Pertama dan Kedua dipecat, dan seribu keping wang emas itu dikembalikan ke kas kerajaan oleh Bakhtiar dan istrinya.
(Catatan: Konon, Bakhtiar Baba adalah seorang sufi bijaksana, yang hidupnya sangat sederhana dan tak dikenal orang di Khurasan, sampai peristiwa yang ada dalam kisah itu terjadi. Kisah ini, dikatakan juga terjadi pada sejumlah besar syekh sufi lain dan menggambarkan pengertian tentang terjalinnya keinginan manusia dengan makhluk lain. Khidir merupakan penghubung antara keduanya. Judul ini diambil dari sebuah sajak terkenal karya Jalaluddin Rumi: Peralatan baru bagi pemahaman akan ada apabila keperluan menuntutnya/ Karenanya, wahai manusia, jadikan keperluanmu makin mendesak, sehingga engkau boleh mendesakkan pemahamanmu lebih peka lagi).

Kepala Ikan Untuk Sang Nelayan

Seorang nelayan salih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya. Nelayan itu lalu berguru kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.
Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya. Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibn Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak suatu bukit. “Itulah rumah Syaikh,” ujar mereka. Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana.
Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan. Sepanjang perjalanan ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba, dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan, dan ternak itu tak lain ialah Ibn Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri, bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu boleh menjadi seorang guru sufi.
Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpinya. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh karpet-karpet mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya. Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali. Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibn Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah, lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.
Si murid lalu dibawa menghadap Ibn Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibn Arabi mengatakan kepadanya, “Katakanlah pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.” Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya. “Lalu,” tanya nelayan itu, “apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?” Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi. Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah kehairanan, bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia. “Dia benar,” jawab sang nelayan, “ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh.

Kisah Sufi

Tiga Nasihat
Pada suatu hari, ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku. Nanti aku beri kau tiga nasihat. Si burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, lalu ia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal. Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua, Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti. Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, Wahai manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya.
Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu! Si burung menjawab, Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padaku agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia.
(Catatan: Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk mengakalkan fikiran siswa sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak boleh dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan sufi, kisah ini terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah seorang guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ketiga belas.)