Bagi pendosa yang jahat, aku mungkin terlihat jahat.
Tetapi bagi yang baik — betapa luhurnya aku.
Beliau adalah al imam Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al Aroby Al-Hatimiy Al-Tha’i Al Andalusy.
Yang mendapat sebutan gelar Muhyiddin ibn ’Arabi (”Putra Arab Sang
Penghidup Agama,” selanjutnya, dalam terjemahan ini, lbn Arabi).
Beliau (semoga Allah meridhainya) dilahirkan pada hari Senin, malam 17
Ramadhan, tahun 520H di Marsiyyah, (murcia)Andalusia.(Spanyol) Pada
usia 8 tahun beliau pindah ke Seville (sekarang wilayah Spanyol) bersama
dengan orang tuanya, seraya belajar hadis dan fiqih kapada para guru di
negerinya.
Pengembaraannya di kota-kota Andalusia dan negeri Maghrib mempunyai
pengaruh yang besar dalam membentuk karakter tasawuf beliau kelak,
ketika beliau menjadi syaikh dari para syaikh (syaikh al-masyayikh/ guru
para guru) dan pemuka para imam lslam. Syaikh Ibn Arabi sangat
mendalami jalan sufi dan tak saorang pun yang blsa menandinginya
sehingga beliau pantas menjadi teladan yang mencerminkan akhlak-etika
perkataan dan perbuatan para sufi.
Pada tahun 598H, beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan lbadah haji dan
tinggal di Hijaz selama 2 tahun. Setelah itu melanjutkan perjalanan ke
Bagdad dan Mosul, lalu pindah ke kota Al-Khalil (Hebron, Palestina
sekarang) dan tinggal di sana selama 1 tahun. Berikutnya beliau pindah
ke Kairo dan tinggal di sana selama 3 tahun. Pada tahun 606 H beliau
pergi ke Halb dan m0ndar-mandir antara Maghrib dan Masyriq selama 4
tahun. Beliau kembali ke Halb pada tahun 61o H dan tinggal di sana
selama setahun penuh, kemudian kembali ke Makkah pada tahun 611 H.
Pada tahun 612 H beliau pergi ke Quniah dan Siwas, lalu kemball ke Halb
tahun 617 H dan tinggal di sini selama 3 tahun. Setelah itu beliau
kembali ke Damaskus pada tahun 620H dan tinggal di sana sampai tahun
628H. Beliau kembali lagi ke Halb, tinggal di sana selama setahun penuh
lalu kembali lagi ke Damaskus pada tahun 629H dan tinggal di sana hingga
wafatnya pada tahun 632H, pada usia 87 tahun.
Di kalangan ahli hakikat dan para wali beliau dikenal sebagai salah
seorang wali Allah dan memperoleh banyak gelar, seperti khatam al-
auliya’ (sang penutup para wali), barzakh al-barazikh (sang pemisah para
pamisah), al-kibrit al-ahmar (sang belerang merah), dan sulthan
al-’arifin (pemimpin para arif)
Syaikh Ibn Arabi memiliki banyak sekali karya hingga tak terhitung jumlahnya.
Salah satu karya beliau yang terpenting adalah Al-Futuhat Al- Makkiyah.
Beliau juga menulis kitab tafsir dan ta’will dengan pendekatan bathini
(makna batiniah), serta kitab-kitab lain yang berharga.
Salah satu pengaruh metafisis paling mendalam terhadap dunia Muslim
maupun Kristen adalah ajaran Ibnu Arabi as-Sufi, dalam bahasa Arab
disebut asy-Syekh al-Akbar (Mahaguru).
Ia keturunan Hatim ath-Tha’i, yang masih termasyhur di kalangan bangsa
Arab sebagai laki-laki paling dermawan yang pernah dikenal dalam sejarah
dan di film kan
Spanyol telah menjadi negeri Arab selama lebih dari empat abad ketika
Ibnu Arabi (dari) Murcia dilahirkan pada 1164. Diantara nama-namanya
adalah al-Andalusi, dan tidak diragukan dia lah salah satu tokoh
terbesar dari beberapa tokoh besar Spanyol yang pernah hidup.
Secara umum diyakini bahwa tidak ada puisi cinta yang lebih besar dari
karyanya; dan tidak ada seorang Sufi yang begitu mendalam menarik
perhatian para teolog ortodoks dengan makna batin dari kehidupan dan
karyanya.
Latar belakang Sufinya, menurut para ahli biografi, adalah bahwa ayahnya
pernah berhubungan dengan Abdul Qadir al-Jilani yang agung,
(1077-1166). Ibnu Arabi sendiri disebutkan terlahir sebagai akibat
pengaruh spiritual Abdul Qadir, yang meramalkan bahwa ia akan menjadi
seorang dengan anugerah yang sangat luar biasa.
Ayahnya memastikan untuk memberikan pendidikan terbaik yang mungkin
baginya, sesuatu yang diberikan bangsa Moor Spanyol pada waktu itu,
hingga pada suatu tingkatan yang tidak tertandingi di mana saja. Ia
pergi ke Lisabon, di mana ia belajar Fiqih dan Kalam. Berikutnya, ketika
masih anak-anak, ia pergi ke Sevilla, di mana ia belajar al-Qur’an
serta Hadis di bawah bimbingan para ulama terbesar pada masanya. Di
Cordoba ia menghadiri kuliah-kuliah dari Syekh asy-Syarrat al-Kabir, dan
mengkhususkan dirinya dalam jurisprudensi.
Selama periode ini, Ibnu Arabi memperlihatkan kualitas-kualitas intelek
jauh melebihi mereka yang sezamannya, meskipun mereka berasal dari elite
skolastik dimana dalam keluarga-keluarga semacam ini kapasitas
intelektual sangatlah masyhur pada zaman pertengahan. Selama masa
remajanya, di luar disiplin ketat pada sekolah-sekolah akademik
tersebut, ia habiskan semua waktu dengan para Sufi, dan mulai menulis
puisi.
Ia tinggal di Sevilla selama tiga dekade, puisi dan kefasihan bahasanya
menempatkannya pada posisi puncak di atmosfir Spanyol yang berperadaban
tinggi, begitu juga di Maroko, yang juga merupakan pusat kehidupan
kebudayaan.
Dalam beberapa hal Ibnu Arabi menyerupai al-Ghazali (1058-1111). Seperti
al-Ghazali, ia berasal dari sebuah keluarga Sufi, dan berpengaruh
terhadap dunia Barat. Juga seperti al-Ghazali, ia sangat menguasai
ajaran (ortodoks) Islam.
Tetapi jika al-Ghazali pertama kali menguasai skolastisisme Islam,
kemudian setelah merasa tidak cukup, ia berpaling ke Sufisme pada puncak
kebesarannya; sementara Ibnu Arabi, melalui hubungan dan puisi,
mempertahankan suatu hubungan berkelanjutan dengan arus Sufistik.
Al-Ghazali mendamaikan Sufisme dengan Islam, menjadikan orang-orang
skolastik memahami bahwa Sufisme bukan suatu bid’ah, tetapi suatu makna
batin agama. Misi Ibnu Arabi adalah untuk menciptakan kesusastraan Sufi
dan menyebabkannya dipelajari, hal mana masyarakat mungkin bisa memasuki
semangat Sufisme — menemukan para Sufi melalui keberadaan dan
ungkapannya, apa pun latar belakang budayanya.
Kitab karya Ibnu Arabi, Tarjuman al-Asywaq (Penterjemah Kerinduan):
Adalah benar bahwa sebagian puisi itu tidak bisa dibedakan dari kidung
cinta biasa, dan ketika melihat sebagian besar dari teks itu, sikap dari
orang-orang sezaman dengan penulisnya, yang menolak untuk mempercayai
bahwa karya ini memiliki suatu pandangan esoterik, adalah wajar dan bisa
dipahami.
Di sisi lain ada banyak bagian yang sepenuhnya bersifat mistis dan
memberikan kunci pemahaman untuk bagian lainnya. Jika orang-orang yang
skeptis kurang memiliki kemampuan membedakan, mereka layak memperoleh
rasa terima kasih kita karena mendorong Ibnu Arabi untuk mengajari
mereka. Tentu saja tanpa bimbingannya, semua pembaca yang simpatik sulit
menemukan makna tersembunyi dimana kemurnian dan keindahannya yang
fantastik berasal dari sebuah lagu (qasidah) Arab.
Banyak sekali peninggalan tulisan-tulisan Ibnu Arabi yang sampai saat
ini dikaji sekaligus diperdebatkan, dibanding para Sufi lainnya.
Sebagian tulisan Ibnu Arabi ditujukan kepada mereka yang telah memahami
mitologi kuno dan disusun dengan istilah-istilah tersebut. Sebagian yang
berhubungan dengan dunia Kristen berperan sebagai pembuka jalan bagi
orang-orang yang mempunyai komitmen kepada Kristen.
Puisi lainnya berperan memperkenalkan jalan Sufi melalui wahana puisi
cinta. Tidak seorang pun bisa menjelaskan semua karyanya hanya melalui
makna skolastik, keagamaan, romantik dan perlengkapan intelektual. Hal
ini membawa kita pada isyarat lain dari misinya yang terkandung dalam
namanya.
Menurut tradisi Sufi, misi Ibnu Arabi adalah “menyebarkan” (bahasa
Arabnya adalah nasyr, NSYR) ajaran Sufi melalui pandangan kontemporer
dan berhubungan dengan berbagai tradisi hidup dalam masyarakat.
Pandangan tentang penyebaran ini tentu saja absah dan sesuai dengan
pemikiran Sufi. Karena istilah Sufi untuk kata penyebaran (NSYR) pada
waktu itu tidak dipergunakan secara umum, Ibnu Arabi menggunakan sebuah
alternatif.
Di Spanyol ia dikenal sebagai Ibnu Saraqa, “anak gergaji”. Akan tetapi
Saraqa dengan akar kata SRQ merupakan kata lain dari gergaji yang
diambil dari akar kata NSYR. Akar kata NSYR jika diubah secara normal
bermakna “penerbitan, penyebaran”, dan juga bermakna “menggergaji”. Kata
ini juga bermakna menghidupkan. Nama pribadi Ibnu Arabi, Muhyiddin,
diterjemahkan dengan “Yang Menghidupkan Agama.”
Dengan mengambil akar kata NSYR secara literal, seperti hampir semua
sarjana melakukannya, bahkan menyebabkan seorang sejarawan yang
terhormat semacam Ibnu al-Abbar menyimpulkan bahwa ayahnya adalah
seorang tukang kayu. Ia hanya bisa dikatakan sebagai “tukang kayu” dalam
pengertian kedua sebagaimana dikenal oleh para Sufi yang menggunakan
istilah untuk pertemuan mereka, dalam menjelaskan jamaah mereka di suatu
tempat bagi sejumlah orang yang tidak ingin terlihat sebagai kelompok
penentang.
Sebagian pernyataan Ibnu Arabi yang diambil dari karya-karyanya sendiri
sangat mengejutkan. Dalam kitab Fushushul-Hikam, ia mengatakan bahwa
Tuhan tidak pernah dilihat dalam suatu bentuk material. “Pandangan
tentang Tuhan dalam perempuan adalah pandangan paling sempurna”. Bagi
Sufi, puisi cinta sebagaimana puisi lainnya, mampu memantulkan suatu
pengalaman ketuhanan yang utuh dan koheren seraya memenuhi fungsi-fungsi
lainnya. Setiap pengalaman Sufi merupakan suatu pengalaman mendalam dan
mengandung ketidakterbatasan kualitatif. Bagi orang awam, satu kata
hanya memiliki satu makna, atau satu pengalaman tidak memiliki sejumlah
arti penting yang sama-sama valid. Keberagaman wujud merupakan sesuatu
yang, meskipun ditolak oleh kalangan non-Sufi, seringkali dilupakan oleh
mereka ketika membahas materi Sufi. Paling jauh mereka biasanya hanya
dapat memahami bahwa ada sebuah alegori bagi mereka hanya memiliki satu
makna.
Kepada para teolog yang membatasi diri pada formalisme ketuhanan, Ibnu
Arabi secara terang-terangan mengatakan bahwa, “Malaikat sebenarnya
merupakan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam fakultas-fakultas dan
organ-organ manusia.” Tujuan Sufi adalah menghidupkan organ-organ ini.
Tanpa mempertimbangkan perbedaan antara formulasi dan pengalaman, Dan
telah mengambil alih karya sastra Ibnu Arabi dan mengkristalkannya dalam
suatu kerangka kerja yang mungkin sedang berlaku. Untuk melakukan hal
itu, ia telah mencuri pesan Ibnu Arabi dari validitas Sufinya dan
benar-benar mengabaikan Profesor Asing dengan suatu contoh abadi dari
apa yang oleh pikiran modern hampir berpuncak pada perampasan gagasan.
Sebaliknya, Raymond Lully mengambil alih bahan kesusastraan Ibnu Arabi,
namun disamping itu menekankan arti penting latihan-latihan Sufi yang
diperlukan untuk menyempumakan pengalaman Sufistik.
Ibnu Arabi yang belajar di bawah bimbingan perempuan Sufi Spanyol,
Fatimah binti Waliyya, tidak diragukan bahwa ia cenderung pada
keadaan-keadaan fisik tertentu; yang hal ini juga digunakan oleh para
Sufi. Ia merujuk hal ini di berbagai kesempatan. Sebagian karyanya
ditulis dalam keadaan “mabuk” (trance), dan maknanya tidak jelas baginya
sampai setelah beberapa saat penulisannya.
Ketika berumur tiga puluh tujuh tahun, ia mengunjungi Ceuta, di mana ia
memperbaharui madzhab Ibnu Sabain (penasehat Kaisar Roma, Frederick). Di
sana ia mengalami mimpi aneh yang ditakwilkan oleh seorang ulama
masyhur. Orang alim itu mengatakan, “Tidak bisa diukur … jika orang itu
ada di Ceuta, ia tidak lain adalah anak muda Spanyol yang baru datang.”
Sumber inspirasinya adalah mimpi dimana kesadarannya masih aktif Dengan
melatih fakultas Sufi ini, ia mampu menghasilkan suatu hubungan dengan
realitas terakhir (supermatif) dari akal batinnya — realitas yang
dijelaskannya mendasari penampakan dunia biasa.
Ajarannya menekankan arti penting pelatihan fakultas-fakultas ini yang
tidak diketahui oleh semua orang dan oleh banyak orang telah diserahkan
pada okultisme yang konyol. “Seseorang,” tuturnya, “harus mengendalikan
pikiran-pikirannya dalam mimpi. Dengan melatih kesigapan ini, ia akan
menghasilkan kesadaran tentang dimensi perantara. Kesadaran ini akan
mendatangkan manfaat besar bagi individu itu. Setiap orang seharusnya
melatih diri untuk mencapai kemampuan yang sangat besar nilainya itu.
Tidak akan ada gunanya untuk mencoba menafsirkan Ibnu Arabi dari satu
pandangan yang pasti. Ajaran-ajarannya diambil dari
pengalaman-pengalaman batin, kemudian disajikan dalam suatu bentuk yang
mempunyai suatu fungsi. Jika puisinya mempunyai makna ganda dan sering
demikian, ia bukan saja bertujuan menyampaikan kedua makna itu, tetapi
juga menegaskan bahwa keduanya adalah valid. Jika puisi ini dinyatakan
dalam istilah-istilah yang digunakan oleh orang-orang sebelumnya, hal
ini tidak dimaksudkan harus dipahami sebagai bukti pengaruh luar. Apa
yang diperbuatnya dalam hal ini adalah ditujukan kepada dirinya sendiri
untuk orang-orang dalam istilah yang membentuk sebagian latar belakang
budaya mereka sendiri.
Ada puisi-puisi Ibnu Arabi yang bisa dibaca dalam pengertian yang
berubah-ubah — maknanya bermula dalam suatu tema dan kemudian berubah ke
tema lainnya. Ia melakukan hal ini secara sengaja, dengan tujuan untuk
mencegah proses asosiasi otomatis yang akan membawa pembaca ke dalam
kenikmatan biasa, sebab Ibnu Arabi adalah seorang guru, bukan seorang
penghibur.
Bagi Ibnu Arabi, sebagaimana bagi semua Sufi, Muhammad mewakili Insan
Kamil. Pada saat yang sama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud
“Muhammad” dalam konteks ini. Dalam persoalan ini Ibnu Arabi lebih tegas
dibandingkan persoalan lainnya. Ada dua versi maksud kata Muhammad —
sosok manusia yang hidup di Mekkah dan Madinah serta Muhammad yang hidup
abadi. Muhammad yang terakhir inilah yang dibicarakannya. Muhammad
dalam pengertian kedua ini diidentifikasikan dengan semua Nabi, termasuk
Yesus. Gagasan ini menyebabkan klaim di kalangan Kristen bahwa Ibnu
Arabi atau para Sufi atau keduanya adalah orang-orang Kristen rahasia.
Klaim Sufi adalah bahwa individu-individu yang telah melaksanakan
fungsi-fungsi tertentu pada dasarnya adalah satu. Kesatuan ini mereka
sebut dengan asal-usulnya sebagai Haqiqatul-Muhammadiyyah.
Ketik dilihat dalam bentuk lain, maka ia disebut dengan nama bentuk itu sendiri.”
Ini bukan suatu teori reinkarnasi, meskipun teori ini sangat mirip.
Realitas esensial yang menghidupkan manusia dengan sosok Muhammad atau
lainnya ini harus diberi nama sesuai dengan lingkungannya. Mereka yang
menggunakan sikap ini dengan doktrin Logos dari Plotinus, menurut para
Sufi, berarti menisbatkan suatu hubungan historis pada suatu situasi
yang mempunyai realitas obyektif para Sufi tidak meniru doktrin Logos,
meskipun ide tentang Logos dan Hakikat Muhammadiyah mempunyai sumber
yang sama.
Pada akhirnya, sumber informasi Sufi dalam persoalan ini adalah
pengalaman pribadi Sufi, bukan formulasi kepustakaan sebagai salah satu
manifestasi historisnya. Perangkap pemikiran historis, yang beranggapan
bahwa tidak ada sumber batiniah pengetahuan yang mendasar dan harus
mencari inspirasi kepustakaan dan superfisial, tetap dihindari oleh para
Sufi. Beberapa mahasiswa Barat yang mengkaji Sufisme, hal ini harus
diakui, telah menekankan kemiripan lahiriah, sementara terminologi atau
waktu tidak membuktikan penyampaian gagasan esensial itu.
Ibnu Arabi telah membingungkan para sarjana, sebab ia adalah orang yang
dalam Islam disebut sebagai seorang konformis dalam agama, sementara ia
tetap seorang esoteris. Seperti semua Sufi, ia mengklaim bahwa ada suatu
kemajuan koheren, sinambung dan sepenuhnya bisa diterima oleh setiap
agama formal, dan pemahaman batin dari agama itu yang akan membawa pada
pencerahan pribadi.
Biasanya doktrin ini tidak bisa diterima oleh para teolog (mutakallimun)
dengan kepentingannya yang bergantung pada banyak atau tidaknya
fakta-fakta statis, bahan sejarah dan kekuatan penalaran.
Meskipun Ibnu Arabi dicintai oleh semua Sufi, mempunyai banyak pengikut
pribadi dan menjalankan fungsi teladan kehidupan, tidak diragukan ia
merupakan suatu ancaman bagi kalangan formalis.
Seperti al-Ghazali, kekuatan intelektualnya lebih unggul dari semua
orang sezamannya yang lebih konvensional (di bidang pemikiran).
Alih-alih menggunakan berbagai kemampuan ini untuk mengukir satu tempat
dalam skolastisisme, ia menyatakan — seperti banyak Sufi lainnya — bahwa
jika seseorang memiliki intelek yang kuat, fungsi terakhirnya adalah
memperlihatkan bahwa intelektualitas hanyalah suatu sarana pengantar
kepada sesuatu yang lain.
Sikap ini bukan suatu kesombongan — apalagi kalau kita benar-benar
bertemu dengan orang semacam ini dan mengetahui kerendahan hatinya.
Banyak orang bersimpati kepadanya, tetapi tidak berani mendukungnya,
sebab mereka bekerja pada tataran formal (syari'at) sementara ia bekerja
pada tataran rahasia (halikat).
Seorang alim yang terhormat menurut riwayat mengatakan, “Aku sama sekali
tidak meragukan bahwa Muhyiddin (Ibnu Arabi) adalah seorang pembohong
besar. Ia adalah pemuka kalangan ahli bid’ah dan seorang Sufi yang tidak
tahu malu.” Akan tetapi seorang teolog besar,
Kamaluddin Zamlaqani menegaskan, “Betapa bodohnya mereka yang menentang Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi!
Pernyataannya yang sublim dan tulisannya yang bernilai itu terlalu tinggi bagi pemahaman mereka.”
Dalam sebuah kesempatan yang masyhur, guru pembaharu Syekh Izuddin ibnu
Abdussalam sedang memimpin sekelompok murid mempelajari fiqih. Selama
berlangsung suatu diskusi, pertanyaan tentang definisi bid’ah muncul.
Seorang murid menyebut Ibnu Arabi sebagai contoh utama.
Sang guru tidak menyanggah penegasan ini. Kemudian ketika makan malam
dengan guru ini, Salahuddin yang pada masa selanjutnya menjadi Syekh
al-Islam, bertanya kepadanya, siapakah alim paling terkemuka pada
masanya:Ia menjawab, ‘Menurut Anda siapa? Teruslah makan.’ Aku menyadari
bahwa ia tahu.
Aku berhenti makan dan menekannya untuk menjawab pertanyaanku dengan
menyebut nama Allah. Ia tersenyum dan berkata, ‘Syekh Muhyiddin Ibnu
Arabi.’ Untuk sesaat aku terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata.
Syekh itu bertanya kepadaku tentang keadaanku saat itu. Kujawab, ‘Aku
heran, sebab pada pagi ini seseorang mengatakan bahwa ia adalah ahli
bid’ah.
Pada saat itu, Anda justru tidak menyanggahnya. Sekarang Anda menyebut
Muhyiddin sebagai Wali al-Quthb di Zaman Ini, manusia teragung yang
pernah hidup, guru dunia’.”
“Ia mengatakan, ‘Kala itu aku berada di tengah-tengah pertemuan para ulama, para fuqaha’.”
Penentangan utama terhadap Ibnu Arabi disebabkan koleksi karya puisinya
yang sangat mengagumkan dan mengejutkan — puisi Cinta yang dikenal
sebagai Penterjemah Kerinduan (Tarjuman al-Asywaq). Puisi ini sangat
sublim, mengandung begitu banyak kemungkinan makna dan penuh dengan
khayalan fantastik, sehingga ia bisa menimbulkan pengaruh magis bagi
pembacanya. Bagi para Sufi, karya ini dipandang sebagai produk
perkembangan paling jauh dari kesadaran kemanusiaan.
Ibnu Arabi itu sebagai “suatu paduan aneh antara teosofi dan
paradoks-paradoks metafisik. Semuanya lebih menyerupai teosofi pada masa
kita sekarang.”
Bagi para sarjana, salah satu hal penting dalam kitab Tarjuman al-Asywaq
adalah masih adanya komentar tentang puisi-puisi itu yang dibuat oleh
penulisnya sendiri; di dalamnya ia menjelaskan bagaimana metafora
disesuaikan dengan agama Islam ortodoks. Hal ini hanya bisa dikaji
dengan menghadapkan latar belakang sejarah kitab tersebut.
Pada tahun 1202, Ibnu Arabi memutuskan untuk pergi Haji. Setelah
menghabiskan beberapa waktu perjalanannya melalui Afrika Utara, tibalah
ia di Mekkah. Di sana bertemu dengan sekelompok imigran Persia, para
mistikus (Sufi?) yang menyambut dan menerimanya memasuki kelompok
tersebut, meskipun ia dituduh melakukan bid’ah dan keburukan di Mesir.
Ia nyaris terbunuh pada percobaan pembunuhan oleh seorang fanatik.
Ketua komunitas Persia itu bernama Mukinuddin. Ia memiliki seorang putri
yang cantik, Nizam, salehah dan menguasai fiqih. Berbagai pengalaman
spiritualnya di Mekkah dan pernyataan simbolisnya tentang jalan mistik,
diungkapkan dalam puisi-puisi cinta yang dipersembahkan kepada Nizam.
Ibnu Arabi menyadari bahwa kecantikan manusia berkaitan dengan realitas
ketuhanan. Karena itulah ia mampu menghasilkan puisi-puisi yang
mengagumi kesempurnaan gadis itu dan juga sekaligus, dalam perspektif
yang benar, menggambarkan suatu realitas yang lebih dalam. Tetapi
kemampuan untuk melihat hubungan itu ditolak oleh para agamawan formal
yang memandangnya sebagai skandal.
Para pendukung Ibnu Arabi memperlihatkan, seringkali dengan rahasia,
bahwa kebenaran sejati mungkin dinyatakan dengan berbagai cara
sekaligus. Mereka merujuk pada cara Ibnu Arabi dalam mengangkat mitos
dan legenda maupun sejarah tradisional, untuk mengungkapkan
kebenaran-kebenaran esoteris yang tersembunyi di dalamnya, demikian pula
nilai kesenangannya. Konsep keberagaman makna dari suatu faktor dan
yang sama ini kurang dipahami pada masanya maupun saat ini. Pemahaman
terdekat dari orang awam yang bisa diperoleh dari hal ini adalah
pengakuan bahwa “seorang cantik adalah karya seni Ilahi”. Ia tidak mampu
memahami perempuan cantik dan ketuhanan dalam waktu yang bersamaan. Hal
ini adalah problema umum dari pernyataan Sufi dalam suatu pilihan
kata-kata yang sangat terbatas.
Oleh karena itu, kitab Tarjuman al-Asywaq karya Ibnu Arabi itu terkesan
sebagai sebuah kumpulan puisi erotik. Ketika ia pergi ke Aleppo di
Syria, sebuah pusat ortodoksi keagamaan, ia mendapati bahwa para ulama
(ortodoks) Islam yang mengatakannya sebagai pembohong semata, berupaya
membenarkan puisi erotiknya dengan mengklaim suatu makna yang lebih
dalam. Tiba-tiba ia mulai membuat sebuah komentar untuk membawa karya
tersebut ke dalam pandangan ortodoks.
Hasilnya para ulama itu benar-benar merasa puas, sebab penulisnya telah
berperan dalam mendukung penafsiran mereka sendiri tentang hukum
keagamaan dengan menjelaskan makna-makna dalam karyanya itu. Meskipun
demikian, bagi Sufi, ada makna ketiga dalam kitab itu. Dengan
menggunakan terminologi yang lazim, Ibnu Arabi sedang memperlihatkan
kepada mereka bahwa berbagai superfisialitas itu bisa jadi benar, bahwa
cinta manusia bisa jadi sepenuhnya absah; namun aktualitas kedua hal ini
telah menutupi suatu kebenaran batin, atau perluasan maknanya.
Realitas batin inilah yang dirujuknya ketika ia menerima semua
formalisme, meski demikian menyatakan suatu kebenaran di balik dan di
luarnya.
Mungkin ini salah satu puisi yang paling mengejutkan kalangan agamawan
yang saleh dan meyakini bahwa kepercayaan mereka merupakan jalan bagi
penyelamatan manusia:
Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk:
Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala,
Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.
Aku lah Ka’bah bagi orang-orang yang shalat,
Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur’an.
Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun.
Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku.
Orang yang berpikiran romantis mungkin memahaminya dengan makna yang
biasa dikenal, jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis oleh
pikirannya dikaitkan dengan kata-kata, “Itulah yang dimaksud Ibnu
Arabi.” Bagi Sufi yang biasa menggunakan tema “cinta”, Sufisme hanyalah
satu bagian, terbatas, dimana di baliknya, di bawah keadaan-keadaan
biasa, tidak pernah dirambah oleh manusia sekarang.